13 September 2021

Mantra Positif : It’s Okay Not To Be Okay!!


“Sabar ya.. Stay positive.. Coba lebih khusnudzon aja”

“Ayo semangat, ntar juga lupa”

“Coba lebih beryukur deh, diluar sana masih banyak loh yang keadaannya bahkan lebih parah dari kamu”


Pernah ngga sih kita mendengar kata-kata tersebut entah dari teman, orang terdekat, maupun kita sendiri yang mengucapkannya saat mendengar seseorang sedang mencurahkan isi hatinya (curhat)?? 

Tau nggak sih, kalau itu semua merupakan salah satu contoh penyebab Toxic Positivity?!


Apa sih Toxic Positivity itu??! 

Toxic Positivity itu sendiri sering kali diartikan sebagai suatu sikap positif yang dilakukan oleh seseorang, yang justru berdampak racun atau merugikan bagi para penerimanya (Chiu dalam Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo, 2020). Hal ini disebabkan, kata ataupun kalimat positif mungkin akan bermakna apabila di lontarkan kepada seseorang yang sedang dalam kondisi baik, tetapi tidak terhadap seseorang yang sedang mengalami ketidak mampuan mencari jalan keluar, yang justru akan menambah tekanan atau menjadi racun dalam kehidupannya (Dian Indraswari, 2020).


Chiu  (2020)  dalam  artikelnya  di  The  Washington  Post  menyitir  Natalie  Datillo  psikolog  kesehatan  asal  Amerika  Serikat  yang  menyodorkan

pandangan bahwa ketika ucapan penyemangat disuapkan paksa kepada orang yang sebenarnya sedang tidak ingin menelan kata-kata tersebut,

wajar jika yang mendengar kata-kata tersebut rasanya seperti mau muntah.

Chiu  (2020)  dalam  artikelnya  di  The  Washington  Post  menyitir  Natalie  Datillo  psikolog  kesehatan  asal  Amerika  Serikat  yang  menyodorkan

pandangan bahwa ketika ucapan penyemangat disuapkan paksa kepada orang yang sebenarnya sedang tidak ingin menelan kata-kata tersebut,

wajar jika yang mendengar kata-kata tersebut rasanya seperti mau muntah.


Dampak Toxic Positivity??!

  1. Takut terlihat buruk

Seseorang yang memiliki dampak toxic positivity mudah menyembunyikan perasaan sebenarnya. Hal ini disebabkan adanya ketakutan berlebih untuk tampak buruk dimata orang lain, seperti takut di cap sebagai seorang pemarah ataupun tukang mengeluh dan lainnya.

  1. Tidak dapat membedakan emosi

Seringnya seseorang untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya, berdampak terhadap kurangnya pengetahuan dan pengalaman dalam mengenali emosi yang muncul. Akibatnya, setiap kali emosi yang sebenarnya muncul akan diekspresikan dengan respon yang berbeda. Contohnya seperti adanya seseorang (korban) yang selalu mendapatkan kekerasan fisik oleh orang yang dicintainya (pelaku), normalnya yang dilakukan oleh korban adalah marah dengan segera melaporkan kejadian kepada pihak berwajib. Tetapi respon yang diberikan korban berbeda, yakni menyalahkan dirinya atas tindakan pelaku. Hal inilah yang dinamakan toxic positivity, yang menjadikannya racun atau menghancurkan kehidupannya.

  1. Memperparah keadaan penderitanya

Tekanan emosi yang menumpuk pada diri seseorang akan memiliki dampak toxic positivity yang sewaktu-waktu dapat meledak, seperti halnya balon yang terisi udara. Akibatnya, akan memperburuk kondisi mental seseorang tersebut dengan menimbulkan berbagai penyakit penyerta lainnya, seperti depresi, panic attack, dan lain sebagainya.

  1. Tidak menyelesaikan masalah

Seseorang yang memiliki dampak toxic positivity akan merasa berpegang teguh dengan petuah yang kesannya positif. Hal ini akan membuatnya menghindari situasi yang membuatnya tidak nyaman, dan akhirnya masalah yang dihadapinya pun tidak dapat terselesaikan dengan baik.


Apa sih, sebaiknya yang kita lakukan??!

  1. Menerima setiap emosi yang sedang dirasakan, dengan menyadari hidup tidak selalu harus bahagia

Perasaan negative yang kita rasakan seperti marah, sedih, kecewa, dan lain sebagainya itu tidak selamanya buruk. Bahkan dengan adanya perasaan-perasaan tersebut, membuat kita lebih jujur terhadap apa yang sedang kita rasakan dan lebih mengetahui respon yang sebaiknya diberikan terhadap perasaan-perasaan tersebut dengan lebih terlatih (respon cepat). Seperti halnya pernyataan Gita Savitri Devi (2019) dalam segmen ‘beropini’ di channel youtubenya, “Paying attentions to our emotion is actually in act of self love and a way for us to transform (memberikan perhatian pada emosi kita yang sebenarnya adalah tindakan cinta terhadap diri dan cara bagi kita untuk berubah (menjadi lebih baik))”.

  1. Melakukan jurnalisasi (menuliskan perasaan)

Membiasakan diri untuk menulis jurnal harian atau diary, sangat membantu guna memahami emosi diri yang sedang kita alami. Terutama apabila kita termasuk sosok yang pemalu ataupun sulit untuk mengekspresikan diri terhadap orang lain.

  1. Mengurangi bermedia sosial

Tidak semua orang yang memposting kebahagiaan mereka di media sosial, berarti mereka tidak pernah merasakan perasaan negatif (sedih, marah, kecewa dan lain sebagainya). Hanya saja mereka tidak menunjukkannya, jadi stop membandingkan diri sendiri dengan keadaan orang lain yang nampak di media sosial.

  1. Mengganti kalimat positif toxic kearah positif menerima (terhadap orang lain)

Apabila kamu termasuk orang yang tidak tahu cara merespon orang lain yang sedang mencurahkan isi hatinya, kamu dapat cukup mendengarkan dan mengatakan beberapa hal seperti;

“Ada yang bisa aku bantu? Sini aku dengerin ceritamu”

“Gapapa ngga usah malu kalau mau menangis, nagis aja”

“Tenangin diri kamu dulu ya, agar bisa berfikir jernih buat cari solusinya”

Sebab tidak semua orang yang bercerita atau mencurahkan hatinya butuh untuk diberi masukkan, terkadang dengan menjadi pendengar yang baik minimal akan membantunya mencurahkan segala emosi yang membuatnya lega.



Penulis : Umi Salsabillah

Referensi :


Devi, Gita Savitri. (2019). Beropini eps. 39 : Toxic positivity. (https://www.youtube.com/watch?v=3RssBAqL_Go) diakses 31 Augustus 2021

Indraswari, Dian. (2020). Tentang Toxic Positivity dan Dampaknya Pada Kesehatan Mental Kita. Whiteboard journal (https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/tentang-toxic-positivity-dan-dampaknya-pada-kesehatan-mental-kita/) diakses 31 Agustus 2021

Soerjoatmodjo, Gita Widya Laksmini. (2020). Manakala Positif Justru Negatif. Buletin KPIN (Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara) Vol. 6 No. 19 (https://www.researchgate.net/publication/344519335_Manakala_Positif_Justru_Negatif) diakses 31 Agustus 2021


 

0 comments

Posting Komentar