06 Oktober 2021

Fenomena Phubbing : Suatu Degradasi Sosial dan Kaitanyannya dengan Personality Traits


Saat ini, peran dan kualitas komunikasi telah menjadi hal yang sangat penting di dunia modern. Selain perkembangan teknologi, kecepatan komunikasi semakin meningkat seiring dengan jumlah dan kualitas perangkat komunikasi. Namun, masalah yang tidak diinginkan datang dengan perkembangan teknologi informasi ini. Di dunia saat ini, kecanduan teknologi (Turel, Serenko, & Giles, 2011) telah berubah melalui telepon seluler untuk komunikasi individu membentuk perilaku penggunaan telepon yang bermasalah (Bianchi & Phillips, 2005; Billieux, Linden, D'Acremont, Ceschi, & Zermatten, 2007; Billieux, Van Der Linden, & Rochat, 2008; Park, 2005) dan kecanduan smartphone seiring dengan meningkatnya popularitas smartphone (Demirci, Orhan, Demirdas, Akpinar, & Sert, 2014). 

Kehadiran smartphone ditengah  era  globalisasi  yang  menuntut  setiap  orang  mampu  menjadi  lebih  update terhadap  dunia  yang  penuh  teknologi  malah  menjadikan  smartphone sebagai salah  hal  yang  tidak  lagi  dapat  dipisahkan  dari  kehidupan. Segala  informasi mampu  diperoleh dengan  cepat  melalui  smartphone,  mulai  dari  informasi  resep kue  sederhana atau  bahkan informasi mengenai fenomena yang terjadi di setiap penjuru dunia. Begitupula dengan proses komunikasi,  smartphone memungkinkan  setiap  individu  untuk  mampu berkomunikasi dengan  siapa saja  dan  di  mana  saja,  memfasilitasi  interaksi  sosial  dengan  orang-orang  yang sangat dekat, atau di sisi lain dunia. Dengan masuknya banyak perangkat teknologi dalam model smartphone baru dalam 15 tahun terakhir (Pendergrass & Town, 2017), banyak fokus kecanduan seperti kecanduan SMS (Hassanzadeh & Rezaei, 2011), kecanduan internet (Tao et al., 2010; Weinstein & Lejoyeux, 2010), dan kecanduan game (Charlton & Danforth, 2010; Wood, 2008) telah dikumpulkan menjadi satu objek. Oleh karena itu, phubbing terjadi bersamaan dengan fokus adiktif ini dan telah memasuki kehidupan sehari-hari sebagai fenomena multidimensi yang sangat memengaruhi komunikasi sehari-hari (Barrios-Borjas, Bejar-Ramos, & Cauchos-Mora, 2017; Karadag˘ et al., 2015).

Ditengah  banyaknya  keuntungan  nyata  dalam  menyatukan  orang-orang, smartphone terkadang  dapat  membuat  orang  terpisah  (Turkle,  2011).  Sebagai  salah  satu  media  berbasis digital, smartphone tentu  memiliki  peluang  yang  besar  di  masyarakat.  Dibuktikan  dengan perkembangan  dunia  digital  yang  cukup  pesat  di  Indonesia,  dimana  91%  penduduk  Indonesia menggunakan  telepon  genggam  dan  60%  nya  merupakan  smartphone. Lebih  lagi  ketika smartphone bergabung  dengan  internet  dan  menghasilkan  sebuah  media  sosial.  Hal  ini  akan mengakibatkan beberapa fenomena perubahan sosial di masyarakat, seperti berubahnya pola perilaku individu  dengan  orang  di  sekitar  ketika  mereka  asyik  bermain  media  sosial  di  smartphone,  atau bahkan  hanya  dengan  getaran  smartphone saja  individu  mampu  langsung  teralihkan  dari komunikasi  langsung  yang  sedang  dilakukan.  Fenomena  ketika  individu  lebih  memilih  untuk berinteraksi  dengan  smartphone  yang  mereka  miliki  ketimbang  berinteraksi  langsung secara fisik ini merupakan sebuah istilah baru yang disebut dengan phubbing.

Phubbing merupakan  fenomena  yang  rupanya  sudah  terjadi  dalam  skala  yang  besar  di kehidupan  kita.  Namun  pada  realitanya,  tidak  semua  orang  mampu  menyadari  akan  bahaya  yang mengintai  dari  fenomena  ini.  Istilah phubbing merupakan sebuah singkatan dari kata phone dan snubbing, yang digunakan untuk menunjukan sikap menyakiti lawan bicara dengan menggunakan smartphone yang  berlebihan  (Hanika:  2015).  Phubbing mampu  menyebabkan  penurunan   relasi  sosial   antara   pelaku   dan   penerima   phubbing karena   pengabaian   atau   pengucilan  yang dilakukan  baik  secara  sadar  maupun  tidak.  Salah  satu  karakteristik  phubbing yang juga dapat menurunkan relasi sosial ialah pengalihan kontak mata, dari yang seharusnya melihat  ke  lawan  bicara namun  teralihkan  ke  smartphone dan  kemudian  dapat  ditafsirkan  sebagai pemberian silent treatment, atau penolakan secara sosial.

        Fenomena phubbing tidak semata-mata langsung terjadi begitu saja.  Perilaku  yang  secara berkesinambungan  menggunakan  smartphone secara  tidak  sadar  membentuk  perilaku  yang mengarah ke phubbing. Seperti halnya hasil penelitian yang menunjukkan dimana penggunaan smartphone berlebih      mempunyai      korelasi      positif      terhadap      perilaku      phubbing (Chotpitayasunondh and Douglas, 2016). Penggunaan media sosial juga merupakan salah satu faktor  penentu   phubbing pada seseorang (Karadaǧ et al., 2015). Jika   dahulu   pepatah   mengatakan jauh di mata dekat di hati, maka yang terjadi pada para perilaku phubbing justru sebaliknya.   Ketika   individu  asyik   menggunakan   smartphone   saat   terlibat   perbincangan, seringkali ia tak mengindahkan keberadaan lawan bicaranya.  Sehingga hal yang dekat di mata menjadi jauh. Ironisnya, phubbing justru seringkali terjadi ketika momen kebersamaan sedang berlangsung.

Alih-alih  menjalin  silaturahim,  momen  ketika  berkumpul  justru  menjadi  ajang  saling menunduk dan senam jari. Phubbing jika  dilakukan  sekali  dua  kali  masih  bisa  dimaklumi  bagi teman  atau  orang  yang lebih tua dari kita, tapi jika dilakukan secara terus menerus berdampak merusak kualitas hubungan  antar  individu  maupun  kelompok  (Alamudi;  2019).  Ketika  seorang individu  merasa  banyak  orang  yang  melakukan  phubbing, maka  ia  akan  berpikir  bahwa  itu adalah  hal  wajar yang  dapat  diterima.  Seperti  yang  dijelaskan  dalam  learning  through modeling  bahwa  setiap  individu melakukan observasi berupa modeling atau imitasi dan kemdudian mempresentasikan tingkah   laku   individu   yang   diobservasi   secara   kognitif.   Ketika   individu  yang   diobservasi   menggunakan smartphone-nya setiap waktu, maka akan menjadi panutan yang diikuti bentuk imitasi perilaku modeling, dimana individu yang mengamati adanya perilaku phubbing itu akan menganggap phubbing sebagai hal biasa dan malah melakukan hal yang sama tanpa berpikir untuk mengatasi situasi yang terjadi.  Phubbing menunjukkan  betapa  setiap  individu  saat  ini  telah menjadi  manusia  yang  asyik  sendiri  dengan  smartphone yang  dimiliki,  terutama  dalam  hal  menggunakan   sosial   media,   sampai   akhirnya   tidak   terlalu   mempedulikan   orang   di  sekitarnya  sehingga  menyebabkan  terjadi  degradasi  relasi  sosial  yang  semakin  hari  menjadi semakin  parah.  Karenanya diperlukan pembentukan kesadaran bagi setiap individu dalam memahami fenomena phubbing.

Phubbing didefinisikan sebagai individu yang menghentikan komunikasi tatap muka dengan orang lain untuk berinteraksi dengan telepon mereka. Ada konsekuensi penting sebagai akibat dari individu yang tidak fokus pada lawan bicara mereka selama komunikasi dan malah memperhatikan telepon mereka. Dalam literatur, ada temuan yang menunjukkan bahwa phubbing menjadi lebih umum di antara individu. Studi oleh Garcia dan Sinchi (2016) menetapkan bahwa 72% partisipan pernah terpapar phubbing. Davey dkk. (2017) mengungkapkan bahwa prevalensi phubbing adalah 49%. Penelitian dalam beberapa tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa efek negatif pada kehidupan sehari-hari akibat meningkatnya fenomena phubbing mungkin lebih drastis dari yang diperkirakan semula. Studi telah menunjukkan bahwa perilaku phubbing berdampak negatif terhadap kepuasan dan kepuasan yang diperoleh dari hubungan antara pasangan (A´ gua1, Patra˜o, & Leal, 2018; Chotpitayasunondh & Douglas, 2018a; Gonza´lez-Rivera, Segura-Abreu, & Urbistondo- Rodrı´guez, 2018; Knoll, Corso, & Junior, 2017; Krasnova, Abramova, Notter, & Baumann, 2016; Vanden Abeele, Antheunis, & Schouten, 2016). Efek negatif lain dari phubbing dilaporkan dalam kehidupan kerja. Karyawan yang menyatakan bahwa bos memperhatikan ponselnya selama komunikasi mengatakan bahwa mereka merasa pekerjaan yang mereka lakukan tidak dihargai dan kepercayaan diri tentang kemanjuran terkait pekerjaan berkurang (David & Roberts, 2017). Dapat dipahami dari penelitian bahwa ada refleksi negatif dari phubbing dalam kehidupan pendidikan seperti dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan. Abramova, Baumann, Krasnova, dan Lessman (2017) menetapkan bahwa phubbing menyebabkan gangguan di kelas. Temuan lain yang mendapatkan hasil serupa mengungkapkan bahwa phubbing biasa diamati dan merupakan perilaku yang bertanggung jawab dari perspektif siswa (Abramova, Baumann, Krasnova, & Lessman, 2017; Nieves, 2014; Ugur & Koc, 2015). 

Selain semua itu, ada temuan menarik yang menunjukkan bahwa phubbing menyebabkan bahaya fisik dalam kehidupan sehari-hari. Du, Xing, dan Gong (2017) memperoleh temuan yang membahas keberadaan dan penggunaan sistem yang memperingatkan individu phubber yang berjalan di jalan sambil melihat ponsel mereka bahwa mereka telah memasuki area berbahaya dalam hal lalu lintas. Studi lain dengan kualitas serupa mentransfer aplikasi komputer yang mendorong mereka yang berhenti melakukan phubbing dan memasuki komunikasi dua arah melalui monitor yang ditempatkan di area publik terbuka ke dalam hasil eksperimen (Metsiritrakul, Puntavachirapan, Kobchaisawat, Leelhapantu, & Chalidabhongse, 2016). Semua studi ini menunjukkan bahwa phubbing memiliki efek komprehensif pada kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kasus yang membutuhkan pemeriksaan penyebab dan hasil.

Degradasi  relasi  sosial  berupa  phubbing sebagai  dampak  media  sosial  dapat  menurunkan lima aspek kualias komunikasi, yaitu:

1. Keterbukaan,  adalah  untuk  menyampaikan  dan  mengungkapkan  segala  sesuatu  yang  ada  pada diri individu

2. Empati,  adalah  dapat  merasakan  seperti  yang  dirasakan  oleh  orang  lain  secara  intelektual  maupun emosional

3. Kesetaraan, adalah untuk menyeimbangkan kedudukan dan tanggung jawab antar individu  

4. Kepercayaan, adalah untuk menghilangkan prasangka dan kecurigaan antara individu

5. Sikap  mendukung,  adalah  untuk  memberikan  dukungan  secara  terucap  maupun  tidak  terucap

Ketika  lima  aspek  ini  menurun,  maka  relasi  sosial  individu  tersebut  dapat  dipastikan  menurun  pula.  Ketika  hal  ini  terjadi,  maka  individu  bisa  saja  memperolah  pengucilan  sosial atas tindakan yang ia lakukan. Tumbuhnya relasi sosial dapat diawali dengan interaksi antar individu yang saling menegur, berjabat tangan, dan saling berkomunikasi.  Dapat  dipahami  bahwa  relasi  sosial terjadi  karena  adanya  individu  yang  saling  membutuhkan antar  individu  dengan  individu  lainnya, relasi  sosial  ini  dimulai  dari  tingkat  yang  sederhana  dan  tidak  terbatas  sampai  tingkat  yang lebih luas  dan  kompleks.  Idealnya semakin dewasa dan bertambah   umur   tingkat   relasi   sosial   makin  berkembang   dan   menjadi   amat   luas   dan   kompleks.   Namun  apabila  seorang  individu  tidak mampu  mengendalikan  dirinya  dalam  penggunaan media sosial dan smartphone tentu  saja  akan berdampak  pada  terdegrasasinya  relasi sosial yang dimiliki. Phubbing tetap   memiliki   hal   positif  jika   dikaji   lebih   lanjut.   Ketika   seseorang   mendapatkan  perilaku  phubbing dari  lawan bicaranya tentu  akan  terjadi  dua  kemungkinan.  Yang  pertama  ialah  ia  akan  ikut  melakukan  phubbing atau kebalikannya  ia  menjadi  mengerti  seberapa  bahaya  phubbing.  Sehingga  individu  yang memiliki kesadaran  akan  fenomena  ini  akan berusaha lebih aktif berinteraksi dan membangun relasi sosial di dunia nyata, individu ini akan berorientasi  pada  tujuan  tertentu  dan  tidak  menganggap  bahwa  media  sosial  adalah  satu-satunya cara untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka tidak mudah terpengaruh apa yang diberikan oleh media kepadanya.  Individu  membentuk  pemahaman sendiri  akan  isi  dan  makna   media   dan   mereka   secara   aktif   memutuskan   bagaimana  menggunakan   media   (Niekamp,  2003).  Kesadaran  dalam  diri  individu  terkait  fenomena phubbing   malah  akan  membuat relasi sosial semakin intens akibat munculnya kecemasan akan terjadinya degredasi relasi sosial yang dijalani.

Wang, Xie Wang, Wang, dan Lei (2017) meneliti hasil phubbing dan menentukan bahwa phubbing mungkin terkait dengan depresi dan berkurangnya kepuasan dalam hubungan. Roberts dan David (2016) mengidentifikasi bahwa pasangan dengan gaya keterikatan cemas menunjukkan reaksi yang lebih konfrontatif saat terkena phubbing. Chasombat (2015) mengidentifikasi bahwa mereka yang menampilkan perilaku phubbing telah mengurangi keterampilan mendengarkan.

Selain studi yang meneliti hasil dan masalah yang terkait dengan phubbing, ada beberapa studi tentang penyebab dan motivasi yang mengarah pada phubbing. Misalnya, Błachnio dan Przepiorka (2018) menetapkan keinginan untuk masuk ke Facebook mungkin menjadi salah satu penyebab phubbing. Chotpitayasunondh dan Douglas (2016) mengidentifikasi bahwa individu dengan kecanduan smartphone dan paparan phubbing oleh orang lain dapat menyebabkan mereka menampilkan perilaku phubbing. Thomas (2016) mengungkapkan bahwa pengalaman stres akademik dapat menyebabkan individu melakukan phubbing.

Penelitian Erzen, dkk. (2019) melalui hasil analisis regresi mengidentifikasi bahwa lima faktor ciri kepribadian kesadaran dan neurotisisme memiliki kekuatan prediktif untuk phubbing. Analisis menentukan conscientious memiliki kontribusi positif sementara neurotisisme memiliki kontribusi negatif terhadap model. Hasil ini menunjukkan bahwa individu yang tidak memiliki ciri-ciri tipe kepribadian conscientious dan mereka yang memiliki tipe kepribadian neurotik lebih cenderung menampilkan perilaku phubbing. Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa neurotisisme dan kesadaran memprediksi phubbing. Hasilnya menunjukkan konsistensi yang jelas dalam hal karakteristik kontras individu neurotik dan teliti. Salah satu ciri khas individu neurotik adalah kesulitan dalam mengendalikan impuls (John & Srivastava, 1999). Mengontrol emosi sulit bagi individu neurotik dan sebagai hasilnya, keadaan keseimbangan emosional yang berlawanan dipilih untuk digunakan daripada keadaan neurotisisme (McCrae & Costa, 2003). Kebalikan dari neurotisisme individu tipe teliti adalah mereka yang dapat mengontrol impuls mereka (John & Srivastava, 1999) dan memiliki kepribadian disiplin dan sabar (McCrae & Costa, 1987). Individu yang teliti dapat menunda keinginan mereka (Sleem & El-Sayed, 2011) dan mengatur waktu mereka sesuai keinginan (Zˇivcˇic´-Bec´irevic´, Smojver-Azˇic´, & Dorcˇic´, 2017). Hasilnya mengarah pada pertimbangan bahwa phubbing memiliki aspek yang terkait dengan kontrol impuls dan bahwa orang yang terampil dalam mengontrol impuls memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terpengaruh oleh phubbing.

Masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengendalikan impuls mereka tampaknya memiliki kualitas yang mirip dengan gangguan perilaku lainnya. Misalnya, disebutkan bahwa gangguan kecanduan perilaku seperti kecanduan internet (Treuer, Fabian, & Fu¨redi, 2001), kecanduan game (Weng et al., 2013), dan kecanduan smartphone (Gutie´rrez, de Fonseca, & Rubio, 2016) umumnya karena masalah yang berkaitan dengan kemampuan mengendalikan impuls. Situasi ini mengungkapkan bahwa individu neurotik merasakan keinginan yang tak terbendung untuk mendapatkan objek atau keadaan yang mereka inginkan dan tidak dapat menunjukkan kemauan yang diperlukan untuk menundanya.

Ketika diperiksa dari segi individu neurotik, kemungkinan penyebab phubbing lain adalah kecenderungan untuk menunjukkan depresi. Diketahui bahwa individu neurotik rentan terhadap depresi (Liang, 2018; Shi, Liu, Yang, & Wang, 2015) dan kecenderungan untuk tetap menyendiri (Stokes, 1985). Penelitian juga menunjukkan bahwa phubbing memiliki korelasi positif dengan depresi (Davey et al., 2017; Wang et al., 2017) dan kesepian (David & Roberts, 2017). David dan Roberts (2017) menyatakan bahwa phubbing dikaitkan dengan perasaan eksklusi individu dan bahwa individu memperhatikan ponsel mereka dengan tujuan menghilangkan emosi ini, mencoba untuk menghargai perasaan memiliki mereka melalui saluran seperti media sosial. Hasil serupa telah diperoleh dalam penelitian lain, yang membahas hubungan antara platform media sosial dan ciri-ciri kepribadian. Hawi dan Samaha (2018) menetapkan bahwa fitur kesadaran dan neurotisisme memprediksi kecanduan media sosial dan internet. Przepiorka, Blachnio and Cudo (2018), serta sifat hati nurani (conscientiousness trait), juga menentukan bahwa fitur yang menyenangkan (agreeable feature) memiliki dampak negatif pada kecanduan internet. Ini mendukung gagasan bahwa individu mencoba mengatasi perasaan kesepian dan introversi dengan menggunakan telepon mereka lebih sering. Dia menemukan bahwa tanggung jawab dan neurotisisme memiliki efek negatif pada kecanduan Facebook dalam penelitian di media sosial (Atroszko et al., 2018; Tang, Chen, Yang, Chung, & Lee, 2016). Kırcaburun (2016) menyatakan bahwa keramahan dan pemborosan dengan hati nurani (conscientiousness trait) juga memiliki efek negatif pada kecanduan Twitter. Juga, Kircaburun dan Griffiths (2018) menemukan bahwa kecanduan Instagram berhubungan negatif dengan kesadaran dan keramahan. Mempertimbangkan jaringan hubungan antara platform media sosial dan kecanduan virtual ini, dapat dikatakan bahwa phubbing terkait dengan individu yang tidak cukup memperhatikan komunikasi tatap muka dan juga tidak peduli dengan individu yang berkomunikasi dengan mereka.

Untuk alasan ini, phubbing menunjukkan tumpang tindih yang parah dengan ciri-ciri kepribadian neurotik, dan dapat dikatakan terkait dengan emosi dan pikiran negatif. Studi oleh Chotpitayasunondh dan Douglas (2018) menentukan phubbing memiliki korelasi positif dengan emosi dan pikiran negatif mendukung pandangan ini. Penjelasan lain untuk korelasi phubbing dengan neurotisisme mungkin adalah rendahnya harga diri orang-orang ini. Penelitian telah melaporkan bahwa harga diri neurotik (Marshall, Lefringhausen, & Ferenczi, 2015; Scheier, Carver, & Bridges, 1994) dan individu yang menunjukkan perilaku phubbing (Błachnio & Przepiorka, 2018) rendah. Akibatnya, rendahnya harga diri individu neurotik dan pikiran mereka yang terus menerus disibukkan dengan pikiran negatif dapat menyebabkan individu tersebut mulai melakukan phubbing. Tampaknya ini termasuk individu dengan harga diri rendah yang berusaha memenuhi kebutuhan harga diri mereka melalui telepon melalui platform yang mereka akses seperti game dan media sosial. Namun, ada banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban terkait phubbing dan kepribadian dan studi tentang topik tersebut dalam literatur masih belum cukup. Misalnya, di antara individu neurotik dengan ponsel cerdas, mengapa beberapa orang tidak memiliki perilaku phubbing? Mengapa individu yang teliti akan rentan terhadap phubbing? Studi yang melibatkan metode campuran dan eksperimental akan bermanfaat untuk menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan serupa.

Untuk intervensi terhadap masalah phubbing yang semakin meluas, perlu bagi pihak berwenang untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dunia yang berkembang dan berubah. Misalnya, dalam pelajaran literasi media di sekolah, generasi muda harus diajari tentang fitur smartphone, faktor risiko yang terjadi terkait penggunaan telepon, situasi di mana phubbing terjadi dan masalah apa yang mungkin berkembang di masa depan dan menciptakan kesadaran tentang topik ini akan berkontribusi pada intervensi terhadap phubbing.

Penulis: Vaya Audrey Amalia

Referensi:

Aditia, R.,   Fenomena Phubbing:  Suatu Degradasi Relasi Sosial Sebagai Dampak Media Sosial.  KELUWIH:  Jurnal Sosial dan Humaniora Vol.2 (1) 8 – 14, April 2021 https://doi.org/10.24123/ soshum.v2i1.4034

Erzen, E., Odaci, H., & Yeniçeri, İ. (2019). Phubbing: Which Personality Traits Are Prone to Phubbing? Social Science Computer Review, 089443931984741. doi:10.1177/0894439319847415

 




 

0 comments

Posting Komentar